Tag Archives: permendagri 7/2007

Sertifikasi Fasilitator – Kenapa?

Standar

Tulisan ini dipublish juga di: http://www.facebook.com/profile.php?id=1640566679#!/groups/211942375518984/doc/274444162602138/

***

Kita tak akan mencantumkan di KTP pekerjaan sebagai fasilitator. Atau tidak akan menjawab pertanyaan “Kerja apa mas/mbak?” dengan jawaban “fasilitator”. Bukan karena fasilitator itu tidak dikenal secara umum sebagai pekerjaan, tapi karena secara “formal” memang belum masuk ke dalam kategori profesi di Indonesia.

Saya baru mengerti arti “fasilitator sebagai profesi” dari Pak Slamet, konsultan Depdagri, pada saat lokakarya penyusunan modul ToT yang dikembangkan Ditjen PMD Depdagri pada tahun 2009. Sebagai profesi, maka harus ada sertifikasi fasilitator dari organisasi profesi yang memiliki kewenangan untuk mengeluarkan itu. Sertifikat dikeluarkan dengan menyelenggarakan pelatihan berbasis kompetensi. Kalau fasilitator sudah menjadi profesi yang secara resmi dicanangkan pemerintah, akan masuk ke dalam buku daftar profesi di Indonesia yang tebalnya segede kulkas yang dikeluarkan oleh Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Saya juga baru melihat barang itu yang diperlihatkan oleh Pak Slamet kepada kami semua. Buku itu sangat tebal karena memuat daftar seluruh profesi di Indonesia termasuk ruang lingkup kompetensinya masing-masing.

Apa yang dimaksud dengan standar kompetensi seorang fasilitator? Sama dengan profesi lain, harus ada standar yang jelas sebagai fasilitator apa. Dokter saja ada spesialisasi. Begitu juga dengan advokat memiliki spesialisasi tertentu juga.

***

 Kenapa muncul gagasan sertifikasi fasilitator?

 Gagasan ini muncul dari kenyataan bahwa semua program (pemerintah maupun non-pemerintah) menggunakan fasiliator sebagai pendamping masyarakat. Apalagi dengan adanya program PNPM yang membutuhkan puluhan ribu tenaga fasilitator masyarakat, diharapkan ada suatu kompetensi yang jelas untuk perekrutan tenaga fasilitator masyarakat tersebut. Seperti biasa, kompetensi yang “standar”  untuk jaminan mutu adalah bahasa yang umum digunakan oleh sebuah lembaga sertifikasi. Standar kompetensi seorang fasilitator harus disusun.

 Dan ini dimaksudkan untuk fasilitator masyarakat. Kalau fasilitator masyarakat, berarti ada di wilayah kerja Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (atau nama lain) di tingkat daerah (kabupaten/kota).

 Jadi, gagasan ini juga muncul dengan dasar diterbitkannya Permendagri No.19 tahun 2007 tentang Pelatihan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa/kelurahan yang muatannya menyatakan bahwa pelatih/fasilitator PMD itu wajib memiliki sertifikat yang dikeluarkan oleh Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Konsekuensi logis dari adanya sertifikasi fasilitator masyarakat, maka harus ada lembaga penyedia pelatihan (training provider) di setiap daerah (minimal per provinsi).

 Kalau berminat silakan baca di:

http://www.depdagri.go.id/produk-hukum/2007/03/28/peraturan-mendagri-no-19-tahun-2007

 Selain itu, Permendagri No.7 tahun 2007 tentang Kader Pemberdayaan Masyarakat digunakan sebagai dasar hukum gagasan sertifikasi fasilitator masyarakat. Permendagri ini mewajibkan desa/kelurahan memiliki KPM (istilah lain untuk fasilitator masyarakat) minimal 5 orang.

Terakhir, ada semacam “gerundelan” bahwa banyak fasilitator-fasilitator dari kalangan LSM yang melakukan pelatihan-pelatihan di wilayah tupoksi Depdagri dengan berkembangkan program-program penguatan tata pemerintahan -terutama program di masyarakat. Sementara materi pelatihannya seperti apa berada di luar jangkauan pemerintah. Pelatihan terkait musrenbang, penyusunan RPJMDesa, RKP Desa, Perdes, APB Desa, dll. memang banyak dilakukan oleh kalangan LSM yang mendampingi desa dengan atau tanpa kerjasama dengan pemda.

 Konon kabarnya telah diterbitkan surat edaran kemendagri mengenai hal ini sehingga jajaran kemendagri diminta untuk  memposisikan LSM sebagai mitranya dan bukan sebaliknya LSM menjadikan kemendagri sebagai mitra dalam program yang terkait tupksi kemendagri.

***

Apa konsekuensi dari pengembangan sertifikasi fasilitator itu? Itu yang muncul dalam diskusi di milist LSM, yang terakhir saya ikuti adalah dua-tiga tahun silam. Tentu saja LSM berkepentingan dengan isu lembaga sertifikasi fasilitator ini karena:

  • Apakah fasilitator itu memang bisa disebut profesi dan kompetensinya distandarkan karena fasilitator lebih bersifat filantropi dan voluntary?
  • Apakah fasilitator dari kalangan LSM masih bisa diterima oleh masyarakat bila pemerintah menyatakan bahwa hanya fasilitator bersertifikat yang diakui pemerintah?
  • Apakah fasilitator yang berkarakter filantropi yang digembleng oleh LSM dan berasal dari masyarakat sendiri akan digantikan oleh fasilitator bersertifikat dari “luar” yang tidak berakar ke masyarakat karena kehadirannya dalam rangka bekerja saja?
  • Dan seterusnya.

 Setelah lokakarya di Depdagri tahun 2009 tersebut, saya ketinggalan berita tentang pengembangan lembaga sertifikasi yang naskah (konsep)nya sudah sempat dibuat itu.  Entah sudah sampai dimana sekarang status pengembangannya.

 Siapa tahu ada yang punya informasi terbaru?

***

 Sertifikasi fasilitator dan fasilitator diakui sebagai sebuah profesi. Artinya, fasilitator bisa dicantumkan di KTP atau CV sebagai pekerjaan. Bisa disebutkan sebagai pekerjaan bila ditanya oleh tetangga, pekerjaannya apa. Apakah suatu masa akan tiba seperti itu?

Fasilitator sebagai kerja aktivis mungkin hanya tinggal kenangan.

 ***