Tag Archives: community development

PEMBERDAYAAN sebagai Kerja Fasilitator Masyarakat

Standar

PEMBERDAYAAN merupakan kata yang paling sering disebutkan dalam program pembangunan. Bukan hanya sebagai prinsip. Bukan pula sebagai proses kerja. Melainkan juga sebagai judul program.

PNPM misalnya. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat.

Juga sebagai kata dalam sebuah profesi, yaitu FPM.

Fasilitator Pemberdayaan Masyarakat. Ini adalah nama resmi profesi fasilitator yang sudah didaftarkan di Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi sejak tahun 2012.

***

PEMBERDAYAAN merupakan kata-kata yang terlalu sering diucapkan tapi tidak dimaknai. Bahkan hanya untuk mengenal arti harfiahnya saja masih banyak orang yang tidak berusaha memahami. Pemberdayaan berasal dari kata benda (noun) Bahasa Inggris yaitu empowerment. Kata dasarnya power, artinya daya atau kekuatan.

Bagaimana kita mengartikan pemberdayaan tergantung pada teori dan konsep yang dipakai. Saya akan memperkenalkan pengertian Pemberdayaan berdasarkan teori dan konsep yang dikembangkan oleh Robert Chambers dan banyak digunakan sebagai kerangka pemberdayaan dalam menggunakan metodologi pendekatan partisipatif program pengembangan masyarakat (community development).

Pemberdayaan artinya adalah sebuah proses membuat berdaya pihak yang tidak/kurang berdaya (the powerless) dan sebaliknya mengurangi orang/pihak yang terlalu dominan atau berkuasa (the powerfull) agar terjadi pola relasi kekuasaan (power relations) yang berimbang dan harmoni dalam sebuah tatanan masyarakat.  Sebenarnya skala hubungan kekuasaan yang dimaksud oleh Chambers itu bukan hanya dalam skala komunitas (hubungan antara elit lokal dengan warga),tetapi juga dalam skala negara (hubungan antara pusat pembangunan dan wilayah periferi atau pinggiran) dan skala global (hubungan antara negara kaya-miskin).

Tentu saja sebaiknya Anda membaca sendiri buku dan tulisan Rober Chambers sendiri untuk memahami konsep ini antara lain dari buku berikut:

  • Whose Reality Counts, Putting the First Last, Robert Chambers, Intermediate Technology Pub., 1997.
  • Rural Appraisal: Rapid, Relaxed, and Participatory, Discussion Paper, Robert Chambers, IDS, 1992.
  • Rural Development; Putting The Last First, Robert Chambers, Longman Scientific and Technical, 1983.

Buku yang sudah diterjemahkan:

  • Pembangunan Desa; Mulai dari Belakang, Robert Chambers, LP3ES, 1987.
  • Participatory Rural Appraisal (PRA); Memahami Desa secara Partisipatif, Robert Chambers, Oxfam – Yayasan Mitra Tani, 1996.

***

MENGUKUR PEMBERDAYAAN masyarakat sebagai sebuah capaian program tergantung pada rumusan yang dibuat oleh perancang program yaitu lembaga pembangunan, baik itu pemerintah maupun non-pemerintah, lokal, nasional maupun internasional yang mengerjakan program pengembangan masyarakat atau program pemberdayaan masyarakat di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Yang jelas, ukuran pemberdayaan haruslah merupakan kriteria-indikator perubahan pola relasi kekuasaan, baik itu ekonomi, sosial, maupun politik. Baik itu antara berbagai kelas sosial dan ekonomi, elite dan rakyat, maupun perempuan dan lelaki di dalam masyarakat patriarki yang masih memiliki ketimpangan pola relasi kekuasaan antar kelas, ras, kelompok, generasi/usia dan gender.

Sebagai salah satu kerangka konseptual untuk bisa membuat kriteria-indikator pemberdayaan bagi program kita, dapat digunakan  tujuh (7) macam jenis kekuasaan dari Jim Ife.  Ketujuh jenis kekuasaan ini satusama lain saling berhubungan dalam cara-cara yang kompleks, dan kategori (jenis) yang lain dapat saja di tambahkan.

Kekuasaan atas kesempatan dan pilihan pribadi. Agenda pemberdayaan, seharusnya bekerja untuk mengembangkan kemampuan individu dalam menentukan berbagai pilihan pribadi.

Kekuasaan atas definisi dari kebutuhan. Pada sudut pandang pemberdayaan, seharusnya masyarakat diberikan kekuasaan untuk mendefinisikan dan merumuskan kebutuhan mereka sendiri dan agar masyarakat mampu mendefinisikannya maka proses pemberdayaan menuntut adanya akses terhadap pendidikan dan informasi.

Kekuasaan atas ide. Untuk mengurangi dominasi elite kekuasaan atas ide perlu dikembangkan kapasitas warga masyarakat dalam memasuki forum dialog dalam pembuatan keputusan publik sehingga pendidikan (formal dan non-formal) merupakan aspek penting dari pemberdayaan.

Kekuasaan atas intitusi. Strategi pemberdayaan juga bisa bertujuan untuk meningkatkan akses dan kontrol warga masyarakat terhadap institusi-institusi yang membuat keputusan publik,  selain upaya perubahan terhadap institusi-institusi ini agar lebih terbuka, responsif, dan akuntabel.

Kekuasaan atas sumber daya. Salah satu strategi pemberdayaan adalah semaksimal mungkin memberi akses pada banyak orang terhadap pembagian dan penggunaan sumberdaya yang lebih merata.

Kekuasaan atas aktivitas ekonomi. Proses pemberdayaan seharusnya juga memastikan bahwa kekuasaan atas aktivitas ekonomi dapat dibagikan (didistribusikan) secara adil meskipun tidak merata atau sama.

Kekuasaan atas reproduksi. Reproduksi tidak hanya diartikan sebagai proses kelahiran, melainkan juga proses membesarkan anak, memberikan pendidikan dan keseluruhan mekanisme (sosial, ekonomi, dan politik) yang mereproduksi generasi penerus.  Kekuasaan atas repoduksi termasuk kategori kekuasaan atas pilihan pribadi dan kekuasaan atas ide.

Sebaiknya Anda juga membaca mengenai hal ini di buku berikut:

  • Community Development ; Creating Community Alternatives, Vision, Analysis & Practice; Jim Ife, Longman, 1995.

***

Pemberdayaan adalah upaya untuk perubahan tatanan ekonomi-sosial-politik yang lebih adil. Adil dalam hal ini diartikan bahwa terdapat pembagian kekuasaan (sharing power) yang seimbang dan harmoni. Karena negara kita menggunakan sistem demokrasi, maka berarti pembagian kekuasaan (sharing power) yang dimaksud adalah sesuai dengan kaidah demokrasi yaitu kepemimpinan (elit kekuasaan) yang menjalankan kekuasaaanya berdasar mandat dari rakyatnya.

Berikut adalah tulisan berjudul Pemberdayaan yang saya kembangkan dan gunakan sebagai bahan bacaan (handouts) dalam pelatihan untuk staf program pengembangan masyarakat. Sudah lawas (tahun 2003), namun masih tetap relevan dengan masih banyaknya program bertajuk Pemberdayaan Masyarakat di Indonesia.

Istilah Pemberdayaan yang biasanya menjadi kosa kata kalangan organisasi non-pemerintah malah menjadi judul program andalan pemerintah sejak cikal bakal PNPM di awal reformasi sampai sekarang ini. Program ini barangkali merupakan program yang paling banyak memiliki Fasilitator Masyarakat karena memang sebuah program pemberdayaan membutuhkan proses-proses fasilitasi.

Seorang Fasilitator Masyarakat, tentu perlu memahami dan memiliki keterampilan untuk menjalankan kerja-kerja pemberdayaan masyarakat.

***

Cerita Baik dan Sukses dari Lapangan

Standar

Sejak kecil kita belajar membaca, menulis dan berhitung di sekolah.  Membaca dan menulis dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Berhitung dalam pelajaran matematika. Sebenarnya, dalam materi Bahasa Indonesia ada juga pelajaran bertanya dan berbicara. Saya masih ingat di pelajaran Bahasa Indonesia sering ditugaskan mengarang cerita tentang liburan sekolah. Kemudian membacakan karangan di depan kelas. Tapi porsi belajar mengarang dan bercerita di depan kelas seperti itu kurang banyak dan semakin kurang di masa anak saya sekolah sekarang.  Namanya juga guru, lebih suka “menggurui”.

Karena seorang fasilitator itu bukan guru, tugasnya bukan “menggurui” tapi mengembangkan pertanyaan fasilitatif untuk belajar bersama petani atau masyarakat dampingan. Saya pernah menulis tentang “Teknik Bertanya: Sumber Ilmunya Darimana?”. Silakan baca di sini. https://riadjohani.wordpress.com/2012/01/12/teknik-bertanya-ilmunya-darimana/

Karena seorang yang banyak bertanya itu akan mendapatkan banyak tanggapan dan bahkan itu bisa merupakan sebuah proses komunikasi banyak arah, kemampuan mendengarkan (menyimak) juga perlu menjadi suatu latihan bagi para fasilitator. Saya juga memberi contoh tentang permainan “mendengarkan” (menyimak) di sini: https://riadjohani.wordpress.com/2012/01/18/permainan-mendengarkan-dan-mengingat/

Menuliskan catatan harian lapangan (field diary) atau catatan lapangan (field notes) atau jurnal lapangan, sebaiknya merupakan hal yang oleh lembaga dijadikan ketentuan “wajib” bagi para fasilitator masyarakat. Agar lama kelamaan menjadi kebiasaan atau keasyikan tersendiri. Menulis merupakan proses refleksi.

Refleksi merupakan perenungan nilai.

Seorang fasilitator masyarakat membutuhkan itu untuk bisa mengerti mengapa dirinya bekerja begitu keras di lapangan. Apalagi ketika menghadapi bermacam kesulitan, konflik, penolakan. Jawaban yang dicarinya hanya akan ada dalam wilayah nilai. Sebab kalau jawaban yang dicari adalah materi atau balas jasa, maka runtuhlah daya tahannya.

Saya pun meski bukan seorang fasilitator masyarakat, bekerja sebagai fasilitator di tingkat jaringan pembelajaran lembaga, mencari perenungan nilai ketika waktu berjalan terus, usia makin bertambah, dan orang-orang berjalan cepat meninggalkan kita untuk memperoleh pekerjaan yang merupakan peningkatan karier.

Saya akan tetap menjadi fasilitator “blusukan” sampai kapan pun.

***

Itu sebuah prolog yang bertele-tele tentang pentingnya seorang fasilitator menulis (hehe). Saya menulis buku harian sejak kelas 4 SD sampai masa kuliah. Maklum saya dibesarkan di jaman manual. Kalau sekarang, anak saya sudah menulis blog sejak SD.

Menulis pakai tangan (manua)l merupakan hal yang menyenangkan buat saya sampai sekarang pun. Kebetulan tulisan tangan saya memang bagus.

Cara saya menulis buku harian tidak sebagai catatan kejadian tiap hari, tapi sebagai sebuah cerita yang dikembangkan dari kejadian yang saya alami. Ini butuh imajinasi. Jadi, menulis buku harian itu semacam latihan buat menulis.

Buku harian lapangan pun sebaiknya ditulis dengan cara mengembangkan cerita. Cerita bertemu dengan Ibu Aminah, pedagang bakul di Pasar Klewer yang sekarang jadi anggota BPD dan bahkan mau nyalon di Pilkades. Cerita harian pun bisa mencatatkan kilas balik (flash back) bagaimana awal pertemuan ‘aku” dengan Ibu Aminah di awal pendampingan, saat perempuan itu masih malu-malu kalau bicara dalam kelompok dampingan.

Sebuah catatan harian memang menuliskan kejadian nyata yang dicirikan dengan waktu (jam, tanggal, bulan dan tahun) kejadian. Saya suka menempelkan foto yang diambil pada waktu kejadian tersebut. Atau meninggalkan halaman kosong untuk menempelkan foto yang akan saya cari kemudian sesuai dengan peristiwa dan waktu kejadian.

Walau begitu, sebuah buku catatan harian yang sudah penuh terisi, untuk menjadi cerita yang dapat dibaca orang lain, perlu diolah dan dituliskan kembali.

***

Bagaimana menuliskan cerita dari lapangan yang menarik untuk dibaca orang lain dan bermanfaat sesuatu pula?

Banyak sekali produk publikasi lembaga saya tentang teknologi hasil pendampingan program teman-teman LSM yang ditulis oleh para fasilitator lapangan. Memang, bisa saja fasilitator punya kecenderungan hanya menuliskan hal-hal teknis dari lapangan. Misalnya menuliskan kejadian dan keadaan dari sebuah kebun yang sedang dikembangkan, mulai dari awal sampai akhirnya menjadi kebun seperti yang direncanakan.

Menulis dan mengembangkan cerita yang disebut “human interest” seringkali tak terbayangkan oleh para fasilitator masyarakat yang bidangnya teknis. Tapi bisa saja didorong dan dianjurkan.

Saya mengenal sebuah LSM yang mendampingi kelompok usaha kecil perempuan memiliki tradisi ini. Setiap petugas lapangannya menuliskan catatan lapangan yang secara berkala dibaca dan dibahas bersama. Kemudian dipandu arah penulisan selanjutnya.

Pada akhirnya, lembaga itu menerbitkan buku yang berisi bunga rampai cerita lapangan yang ditulis oleh petugas lapangannya. Tema dan sudut pandang ceritanya sesuai dengan pilihan masing-masing.  Tapi karakter tulisannya lebih ke cerita “human interest”. Inspiratif sekali.

***

Lembaga bisa menerbitkan buku-buku tentang teknologi pertanian, teknologi air bersih, pengembangan kesehatan primer, dan sebagainya, berdasarkan pengalaman lapangannya dalam sebuah kondisi dan tantangan tertentu.  Referensi semacam itu perlu untuk dibagi kepada lembaga dan program lain sejenis.

Lembaga juga bisa mencoba menerbitkan buku tentang aspek-aspek non-teknis dari pendampingan program yang bisa membuka cakrawala pikir yang lebih luas. Bercerita tentang sosok petani bukan dalam skala kebun tapi juga komunitasnya, bahkan lebih jauh kebijakan pemerintah dan kondisi politik lokal maupun nasional yang mempengaruhinya.

Berhubung yang menulis adalah para fasilitator masyarakat, buku bisa berupa bunga rampai tulisan dengan pilihan tema dan level analisis yang berbeda.

Tentang sebuah desa, kemiskinan, dan kehidupan para perempuannya.

Tentang si A, perempuan yang mencari nafkah dan menjadi tulang punggung keluarga.

Tentang manisnya buah yang dipetik fasilitator dari hasil pendampingan, setelah sebuah proses yang sulit karena konflik dengan masyarakat dan para “bapak” yang merasa terganggu dengan perempuan berorganisasi dan berkumpul-kumpul dalam program. Apalagi perempuan kemudian kepengen nyalon BPD.

Tentang Pemilu pertama pasca reformasi di Desa dampingan.

***

Beberapa tahun terakhir, berkembang trend di kalangan program pembangunan untuk melakukan evaluasi dengan cara penulisan populer. Beberapa istilah yang muncul dalam evaluasi jenis ini adalah studi  “good practices” atau “best practices” atau “success story”. Apa saja wilayah “good practices” itu dan standar baiknya, dapat dirumuskan oleh lembaga program bersama para fasilitatornya, antara lain adanya tokoh pembaharu “champion actors” yang berkembang karena intervensi program atau keberadaaanya mendukung keberhasilan program intervensi lembaga.

Cerita human interest ini adalah cerita tentang atau dari pandangan orang atau sejumlah orang yang memperoleh manfaat dan atau terkena dampak program.  Ini dikembangkan dengan cara wawancara semi terstruktur kepada orang-orang tersebut. Teknik penulisan populer digunakan untuk menuliskan cerita-cerita human interest dari lapangan.

Penulisan praktek baik atau cerita sukses dikembangkan dengan menyusun berbagai topik tulisan yang terkait tujuan intervensi program dan merumuskan indikator baik atau suksesnya apa. Karakter tulisan success story adalah pembelajaran (lesson learned) mengenai suatu komponen dari program intervensi kita. Penulisan dikembangkan dengan cara mewawancari berbagai pihak mengenai topik-topik tersebut. Teknik penulisannya pun berupa tulisan populer. Praktik baik untuk “champion actors” dapat disusun berupa “profil” aktor tersebut (misalnya profil seorang petani inovatif), bisa juga berupa profil keluarga dan komunitas yang dianggap gambaran keberhasilan.

Cerita human interest dan success story kelihatannya sama saja dalam hasil tulisannya.  Keduanya dikembangkan untuk melengkapi evaluasi yang lebih bersifat data keras, supaya lebih enak dibaca dan “bersuara”, karena ada pernyataan (testimoni) dari orang dan cerita yang lebih menghidupkan gambaran proses dan hasil program daripada sekedar tabel data.

Kalau saja lembaga mengembangkan tradisi menulis catatan lapangan, maka evaluasi program pun akan menjadi lebih mudah untuk mengembangkan penulisan jenis ini.

Subyektivitas, “narsisme” (memuji-muji diri), dan istilah jaman sekarang sih “lebay-isme” (berlebih-lebihan) tentunya menjadi bahaya dari cara penulisan seperti ini.

***

Saya menemukan modul serial pelatihan Monitoring dan Evaluasi di web LSM Internasional berikut: www.crs.org  

Modul pertama sampai tujuh kurang cocok untuk LSM lokal karena lebih dikembangkan untuk LSM internasional dalam menggunakan jasa konsultan dan merancang program monitoring dan evaluasi (ME) programnya. Tapi modul ke delapan dan sembilan menarik untuk dijadikan referensi karena berisikan teknik penulisan human interest dan cerita keberhasilan (success story) dari lapangan untuk kebutuhan ME program.

Langkah-langkah dan contoh penulisan human interest dan cerita sukses untuk penulisan monitoring-evaluasi, dapat dilihat di sini:

8-ME module_humaninterest

9-ME module_success stories

***

Salah satu jenis materi lokakarya dan pelatihan yang pernah dikembangkan lembaga saya adalah pelatihan penulisan dokumentasi program.  Kami kesulitan untuk menemukan judul pelatihan yang cocok karena ternyata ragam tulisan yang ingin dibuat peserta sangat banyak, ada jenis tulisan “jurnalistik” seperti artikel, feature, dan berita kegiatan untuk media publikasi lembaga. Ada jenis tulisan dokumentasi program dari hasil evaluasi yang ingin disusun secara populer. Ada juga penulisan materi pendampingan dan pelatihan yang cenderung menjadi modul dan panduan fasilitator. Pelatihan penulisan ini harus disusun menjadi beberapa jenis pelatihan sesuai dengan kelompok atau jenis (genre) tulisan.

Teman saya yang berlatar belakang jurnalistik, mengembangkan materi teknik penulisan populer seperti artikel untuk buletin atau majalah lembaga, artikel web atau blog, penulisan buku yang merupakan kumpulan cerita dari lapangan. Pelatihan jenis ini disebut lokakarya dan pelatihan, karena setiap peserta langsung bekerja dengan proyek penulisannya masing-masing, sedangkan dari aspek pelatihannya diberikan materi teknik dan tips pengembangan tulisan (mulai dari memahami karakter setiap jenis tulisan, mengembangkan brief tulisan, outline tulisan, dan menulis sesuai dengan karakter dan khalayak sasaran yang dimaksud).

Lokalatih semacam itu sebaiknya diselenggarakan oleh lembaga sendiri untuk para fasilitator atau petugas lapangannya. Bisa juga dengan melibatkan fasilitator atau CO lokal. Ini juga merupakan bentuk penghargaan terhadap kerja fasilitator dengan menjadikan penulisan pengalaman lapangan dan pemikiran mereka sebagai agenda penting lembaga.

***

PRA – penerapannya dalam daur program

Standar

Participatory Rural Appraisal (PRA) bisa diterapkan sebagai metodologi program, bisa juga menjadi operasionalisasi dari ideologi pembebasan, bisa juga hanya teknik/alat diskusi atau menggali informasi, dan bisa juga menjadi teknik/alat manajemen program. Saya lebih suka bila PRA itu bersifat ideologis dan lebih kuat ketimbang popularitas teknik/alatnya.

Namun, dalam kenyataannya PRA lebih populer sebagai teknik/alat pengelolaan program partisipatif. Ideologi pembebasan berubah menjadi pemberdayaan (empowerment) yang lebih “soft”.  Bukan tindakan dan perlawanan untuk mengubah struktur penindasan, tapi memberi keterampilan kerja dan meningkatkan modal, ketimbang memperkuat organisasi dan kepemimpinan lokal yang bisa memperbaiki posisi tawar petani terhadap kekuasaan.

Pendidikan kritis yang digunakan pengguna PRA menjadi pembelajaran yang lebih praktis, meningkatkan hasil kebun dengan memperbaiki teknologi, misalnya. Bukan belajar memahami struktur penindasan yang menyebabkan pemiskinan.

***

PRA di kalangan LSM pengembangan masyarakat dilakukan untuk mengembangkan daur program partisipatif. Daur program sering diibaratkan sebagai sebuah “spiral” ketimbang lingkaran. Spiral terdiri dari lingkaran-lingkaran yang terus berulang.

Penerapan PRA dalam daur program terdiri dari:

  • Tahap penjajakan kebutuhan (need assessment):  PRA untuk pengkajian partisipatif dengan menggunakan berbagai metode/tekniknya;
  • Tahap perencanaan: seringkali disebut PRA yang dikombinasikan dengan ZOPP, sebuah metode perencanaan yang populer di Indonesia, berasal dari GTZ Jerman.
  • Tahap pelaksanaan kegiatan: PRA dan metode/tekniknya digunakan sebagai pendekatan, prinsip maupun teknik/alat pendampingan masyarakat oleh para petugas lapangan (PL) atau fasilitator masyarakat (community facilitator).
  • Tahap monev: perkembangan atau penilaian pencapaian program dilakukan secara partisipatif dengan memodifikasi metode/tekniknya untuk menganalisis perubahan keadaan sebagai akibat dari kegiatan intervensi yang dilakukan.

***

Seluruh tahapan tersebut diibaratkan sebagai lingkaran, dan karena dilakukan berulang-ulang maka menjadi sebuah spiral. Biasanya LSM pengembangan masyarakat melakukan kegiatan yang disebut evaluasi dan perencanaan tahunan dengan memasukkan kegiatan analisis masalah (atau SWOT) sebagai bahan untuk menilai dan memperbaiki perkembangan program.

Itu sebabnya semua tahap di atas sesungguhnya terjadi berulang-ulang karena sebuah program intervensi dijalankan dalam jangka waktu beberapa tahun.

***

Pada evaluasi dampak adopsi PRA selama hampir 10 tahun di kalangan mitra jaringan Nusa Tenggara, tulisan-tulisan berikut ditulis untuk mengekstrasi bagaimana penerapan PRA dalam daur program pengembangan masyarakat.

9-PRA-penjajakan-kebutuhan

10-PRA-perencanaan-program

11-PRA-pendampingan masyarakat

12-PRA-monev

***

Rasanya sih perkembangan PRA di Indonesia memang sudah kadung begitu. PRA itu populer untuk mengembangkan proses program partisipatif. Instrumentalis.

Rasanya memang betul ucapan seorang aktivist Indonesia yang mengatakan: “PRA itu tidak punya ideologi…” Hmmm, padahal salah satu yang menginspirasi perkembangan PRA itu ideologi pembebasan Paulo Freire.

Kalau di negara lain seperti apa ya?

***

PRA – bukan sekedar metode/teknik

Standar

Salah satu ciri metode Participatory Rural Appraisal (PRA) adalah  memiliki kumpulan teknik atau alat kajian yang bersifat visual (gambar).

Tulisan tentang PRA, dapat dibaca di sinidi sini dan di sini.

Gambar visual dari teknik/alat PRA ini nampaknya sederhana, dibuat secara manual bersama masyarakat, namun memiliki sesuatu yang mengagumkan berdasarkan.Gambar visual itu bisa memotret sebuah sistem yang kecil maupun cukup besar sehingga dapat menghasilkan sebuah diskusi yang “powerfull”.

Alur sejarah bisa menjadi sebuah “story telling” tentang keberadaan sebuah komunitas, keberagaman etnis dan kelompok atau sebaliknya homogenitasnya, nilai-nilai hidup tentang alam, kehidupan sosial, dan agama/kepercayaan.  Masuknya nilai-nilai baru ke dalam masyarakat dan tanggapan mereka.  Kepercayaan diri atau sebaliknya runtuhnya kepercayaan diri masyarakat, pengaruh atau runtuhnya pengaruh kepemimpinan lokal.

Semua itu seringkali menjadi diskusi yang mengharu biru buat saya.

Sketsa/gambar desa menggambarkan keberadaan komunitas itu. Apa yang mereka miliki dari masa lalu. Apa yang mereka tidak miliki dan bercokol di wilayah mereka tanpa diundang, perusahaan pemilik HPH, misalnya.  Sebuah LSM Internasional memiliki program pengelolaan konflik manusia dengan binatang yang mengepung perkampungan sehingga melakukan pemindahan hewan ke tempat yang lebih aman, terutama gajah.

Saya sungguh takjub ketika masyarakat menggambarkan sketsa/gambar desa dan wilayah hutannya, termasuk lokasi-lokasi konflik tersebut: gajah, harimau, dan beruang. Sedangkan babi hutan dan kera lebih dianggap hewan yang menjadi hama.

Ada hal-hal yang disembunyikan masyarakat kepada saya bila melakukan diskusi dengan teknik/alat PRA. Tapi itu wajar, saya hanya seorang “tamu” yang hadir sebentar. Kawan-kawan pendamping masyarakat dari LSM setempat lah yang akan bersama mereka lebih lama.

Kepercayaan itu perlu waktu dan hanya tumbuh kepada seorang fasilitator yang tulus bekerja untuk masyarakat .

Ketika PRA menjadi trend metodologi pendekatan program, teknik/alat ini seringkali digunakan secara instan. Tidak memberikan makna yang berarti bagi fasilitator itu sendiri maupun masyarakat. Hanya sekedar melakukan tugas menggali data/informasi atas tugas dari sebuah program.

Teknik/alat PRA hanya akan menjadi “powerfull” bila digunakan seorang yang tepat. Seorang yang mencintai pekerjaan kemasyarakatan. Seorang yang memberikan hatinya untuk menjadi fasilitator masyarakat.

***

Terdapat banyak teknik/alat PRA, dan ini bisa dikembangkan dan dimodifikasi oleh fasilitator masyarakat agar memperoleh teknik/alat diskusi yang tepat dengan kebutuhannya dalam bekerja.

Bagi yang baru berkenalan dengan teknik/alat PRA, daftar berikut ini bisa menjadi awal untuk mulai mencoba dan menerapkannya.  Supaya mudah mengingat dan memahami teknik/alat PRA, pelajari dengan cara berikut:

  • Perhatikan gambar visual teknik/alat PRA tersebut dan apa saja muatan informasi di dalamnya.
  • Perhatikan ciri dari teknik/alat PRA tersebut menurut pengelompokkan yang dijelaskan di bawah ini.
  • Pelajari cara analisis informasi yang terdapat dalam teknik/alat PRA tersebut seperti apa: apakah deskripsi kejadian, apakah kronologi kejadian, apakah pemberian urutan (skor) berdasarkan kriteria tertentu. Lihat tabel mengenai cara analisis informasi dengan metode PRA di bawah.
  • Pelajari cara melakukan diskusi dengan menggunakan teknik/alat PRA. Proses diskusi PRA diibaratkan sebagai piramida terbalik, semakin fokus, semakin mendalam, tapi tak perlu dipaksakan batasannya. Proses ini mengalir saja bersama masyarakat, sampai masyarakat melakukan penemuan-penemuan mengenai siapa dirinya dan apa tanggapannya.
  • Kembangkan tujuan, ruang lingkup informasi, dan modifikasi teknik yang dirasakan lebih cocok untuk kebutuhan diskusi Anda.

Silakan baca lebih lanjut beberapa materi berikut ini:

6-Metode-teknik PRA

7-Analisa Informasi PRA

8-Teknik Fasilitasi PRA

***

Karena teknik/alat PRA bisa menjadi daftar yang banyak dan bertambah terus, kita bisa membuat pengelompokkan teknik/alat PRA tersebut supaya mudah mengingatnya. Salah satu cara mengelompokkannya adalah sebagai berikut.

1. Kelompok metode/teknik yang memiliki ciri “waktu” (when/kapan):

  • Alur Sejarah (History Line)
  • Kalender Musim (Seasonal Calendar)
  • Kecenderungan dan Perubahan (Trend and Change)
  • Jadwal Sehari  (Daily Schedule)

2. Kelompok metode/teknik yang memiliki ciri “tempat/ruang” (where/dimana):

  • Sketsa Peta Wilayah (Desa)
  • Bagan Transek
  • Sketsa Kebun

3. Kelompok metode/teknik yang memiliki ciri “siapa pelakunya” (who):

  • Diagram Venn: Pelaku lembaga dan kepemimpinan lokal
  • Analisis gender: Pelaku L, P, L/P
    • Matriks Analisis Keputusan: Siapa pembuat keputusan di keluarga
    • Jadwal Sehari: Siapa melakukan tugas apa
    • Sketsa Peta Desa:  Siapa memiliki akses dan kontrol SDA
    • Diagram Venn: Siapa berpartisipasi di lembaga publik

4. Kelompok metode/teknik yang memiliki ciri “apa saja” (what):

  • Analisis Matapencaharian
  • Pengumpulan dan Pengelompokkan Masalah

5. Kelompok metode/teknik yang memiliki ciri “proses/alur” (how/bagaimana):

  • Bagan Alur Pemasaran Hasil Pertanian
  • Bagan Alur Usaha Pertanian

6. Kelompok metode/teknik yang memiliki ciri “sebab -akibat” (why/mengapa):

  • Matriks Ranking (Skoring) Komoditi Unggulan
  • Bagan Alur Sebab-akibat Masalah

7. Analisis masalah (bisa diganti dengan analisis potensi) digunakan teknik:

  • Pengumpulan dan Pengelompokkan Masalah
  • Analisis Sebab-akibat Masalah
  • Matriks Ranking (Skoring) Masalah

***

Seorang fasilitator masyarakat yang menggunakan teknik/alat PRA perlu mempercayai bahwa dirinya tidak lebih pintar dari masyarakat hanya karena punya ijasah sekolah. Apalagi hanya karena dirinya belajar dari buku-buku, sedangkan masyarakat jarang membaca atau tidak pernah membaca buku, bahkan buta huruf.

Banyak masyarakat yang bisa membaca tapi bukan dengan tujuan belajar.  Bisa membaca surat atau SMS. Tapi tradisi belajar masyarakat biasanya adalah lisan dan magang. Ilmu masyarakat ada dalam praktek di lapangan. Pertukaran pengetahuan masyarakat terjadi dalam keluarga, di warung kopi, tempat ibadah, atau tempat berkumpul lain.

Teknik/alat PRA mengajak masyarakat melakukan pembelajaran dengan menggunakan sesuatu yang digambarkan/dituliskan/disimbolkan di atas sebuah media (kertas, papan tulis, tanah). Karena itu teknik/alat tersebut hanyalah sarana agar diskusi lisan yang biasanya ngalor-ngidul punya topik tertentu.

Tugas fasilitator adalah menggali kapasitas belajar masyarakat. Berlatih berdiskusi secara baik dengan cara analisis yang biasa saja dilakukan kita setiap hari. Cara analisis dengan metode/teknik PRA adalah sebagai berikut:

CARA ANALISA

CONTOH – CONTOH

Memberi nama (naming) sesuatu

—Memberi nama untuk setiap langkah/kegiatan mengelola kebun, misalnya istilah lokal. Contoh di Timor: pembukaan lahan (tafek nono hau ane), membakar lahan (polo nopo), upacara minta hujan (tsifo nopo), penanaman, pembersihan lahan (tofa), panen, pesta panen (thai niki bolaif).
—Memberi nama untuk suatu benda. Misalnya: lopo (balai pertemuan); dsb.

Mendaftarkan (listing) atau mengumpulkan (collecting)

—Mendaftarkan jenis-jenis komoditi yang dikembangkan petani;

—Mendaftarkan jenis-jenis kegiatan pengelolaan kebun;

—Mendaftarkan masalah-masalah yang muncul dalam pengelolaan usaha masyarakat;

—Mendaftarkan potensi-potensi yang dimiliki masyarakat; dsb.

Memberi nilai (scoring)

—Memberi nilai 1 – 10 untuk membandingkan keunggulan sejumlah komiditi (matriks ranking komoditi);

—Memberi nilai 1 – 10 untuk menilai bobot sejumlah masalah yang dirasakan masyarakat (matriks prioritas masalah);

—Memberi nilai 1 – 10 untuk membandingkan jumlah kepemilikan lahan/ternak/kekayaan (wealth ranking); dsb.

Mengurutkan (sequencing)

—Mengurutkan komoditi berdasarkan nilai keunggulannya;

—Mengurutkan kegiatan berdasarkan tahap-tahapnya;

—Mengurutkan kejadian berdasarkan kronologi waktu; dsb.

Membandingkan (comparing)

—Membandingkan keunggulan sejumlah komoditi berdasarkan sejumlah kriteria;

—Membandingkan beban kerja perempuan dengan laki-laki;

—Membandingkan pendapatan dengan pengeluaran; dsb.

Menghitung (counting) dan mengukur

—Menghitung jumlah ternak, luas kebun;

—Menghitung jumlah/berat hasil produksi kebun (bisa menggunakan ukuran lokal);

—Menghitung jumlah pendapatan; dsb.

Mengkaitkan/ menghubungkan (linking/relating)

—Setelah mengumpulkan masalah-masalah, kemudian menganalisa hubungan sebab-akibat masalah;

—Menghubungkan antara kegiatan atau keadaan dengan musim;

—Menghubungkan masa lalu, masa kini, dengan masa depan;

—Mengkaitkan antara tingkat produktivitas kebun dengan faktor-faktor lain (pola tanam, teknologi); dsb.

Memperkirakan (estimating)

—Memperkirakan tingkat produksi dari tahun ke tahun (menggunakan skore 1 – 10);

—Memperkirakan kecenderungan perubahan ke depan;

—Memperkirakan penggolongan kekayaan masyarakat dengan kriteria-kriteria tertentu (misalnya: kepemilikan lahan dan ternak, jenis rumah, dsb.); dsb.

Memilih atau menseleksi (sorting)

—Memberi nilai untuk memilih komoditi unggulan;

—Membandingkan sejumlah komoditi dengan sejumlah kriteria penilaian untuk memilih komoditi unggulan;

—Memilih prioritas masalah untuk dijadikan kegiatan; dsb.

Menceritakan (telling) atau menggambarkan (describing)

—Menceritakan kejadian-kejadian, menceritakan pengalaman;

—Menggambarkan suatu permasalahan;

—Menggambarkan kondisi sumberdaya alam di suatu wilayah;

—Menggambarkan perekonomian desa; dsb.

Membuat diagram (diagraming)

—Mengurutkan kegiatan/kejadian berdasarkan tahap-tahapnya menjadi alur proses (misal: bagan alur produksi-pemasaran);

—Menggambarkan pola hubungan keterkaitan (misal: diagram kelembagaan, bagan sistem usaha pertanian, pohon masalah);

—Membandingkan jumlah/volume berbagai kegiatan/keadaan (diagram batang, diagram kue, dsb.) dsb.

Membuat model (modelling)

—Menggambar desa/kebun, atau membuat maket (model 3 dimensi) desa/kebun; dsb.

***

Berdiskusi dengan masyarakat selalu kekurangan waktu. Obrolan sering berkembang kemana-mana, tapi itulah nikmatnya kerja pendampingan masyarakat. Padahal masyarakat juga punya kesibukan dengan pekerjaannya.  Bila fasilitator masyarakat bekerja dan hidup di masyarakat (live-in), batasan waktu untuk melakukan diskusi disesuaikan dengan kondisi lapangan.

Diskusi dilakukan dalam suasana informal. Secara umum, teknik fasilitasi kajian dengan alat PRA adalah sebagai berikut:

  • Membuka pertemuan dengan menyampaikan topik dan tujuan diskusi.
  • Mengembangkan pertanyaan-pertanyaan pembuka untuk mengawali diskusi tentu saja yang relevan dengan topik dan tujuan diskusi.
  • Menjelaskan cara mengembangkan visualisasi (gambar) dan maksud dari penggunaan visualisasi (gambar). Menyepakati simbol-simbol gambar.
  • Mendampingi masyarakat untuk membuat visualisasi, membantu mereka mengembangkannya pada tahap awal, bertahap membiarkan mereka menyelesaikan visualisasi secara bersama (saling membantu).
  • Menampilkan visualisasi yang telah diselesaikan oleh masyarakat, dan memfasilitasi analisis keadaan yang ditampilkan dalam visualisasi (gambar) tersebut.  Fasilitator harus sudah menyiapkan pertanyaan-pertanyaan penolong analisis yang bisa mengembangkan diskusi.
  • Secara bertahap, membiarkan masyarakat mengembangkan diskusi analisis mereka mengenai keadaan yang ada dalam visualisasi (gambar) tersebut.
  • Fasilitator menutup diskusi dengan meminta peserta untuk merumuskan pokok-pokok pelajaran yang diperoleh dalam diskusi.

***

Dokumentasi hasil PRA seringkali berupa laporan karena kegiatan PRA dianggap sebagai sebuah kegiatan (event) dalam batasan waktu tertentu. Ini karena PRA sebagai metode  pendekatan program digunakan sebagai metode/teknik manajemen program yang punya ketentuan dan batasan secara administrasi.

Sebagai sebuah metodologi dan prinsip, PRA dilakukan dalam proses pendampingan. Format pendokumentasian yang cocok adalah dalam bentuk catatan lapangan (field notes). Seorang pendamping masyarakat memiliki buku harian atau jurnal lapangan.

Tantangan tersendiri karena fasilitator masyarakat pun tidak memiliki kebiasaan menulis. Apalagi kalau berlatar belakang teknis (pertanian, teknologi poerdesaan), sering merasa menulis itu sebagai sesuatu yang sulit.

Ini juga tergantung dari tradisi belajar di organisasi asal dari fasilitator masyarakat itu. Mudah sekali memahami apakah sebuah organisasi memiliki tradisi belajar atau tidak, dan apakah lisan atau juga menulis.

***

Organisasi tanpa diskusi, jelas tidak memiliki tradisi pembelajaran. Organisasi tanpa produk tertulis pembelajaran dari para fasilitatornya dan hanya menghasilkan laporan-laporan administrasi program,  mencirikan organisasi yang tidak menggembleng pembelajaran agar jajaran personilnya punya sikap keberpihakan yang menjadi nilai organisasinya.  Jelas lembaga ini basis kerjanya hanya proyek.

Aktivis yang tidak banyak diskusi dan membaca untuk mencari alternatif pemahaman,  juga tidak menuliskan penjelajahannya untuk mengkoreksi dan memperbaiki,  jelas hanya menjalankan aktivisme.

Aktivisme itu semacam suatu kelinglungan.

PRA akan “powerfull” untuk lembaga dan aktivis yang menyukai pembelajaran, refleksi dan pencarian nilai. Penulisan merupakan alat (sarana) yang penting untuk melakukan refleksi dan koreksi.

Organisasi perlu memfasilitasi agar catatan lapangan itu menjadi hal yang bernilai di organisasinya. Hal yang penting. Dihargai sangat tinggi.

Pada era sekarang, format catatan lapangan bisa berupa blog individu.

***

Participatory Rural Appraisal: Pengalaman Indonesia

Standar

Pengalaman mengelola Pokja PRA untuk sebuah jaringan dk NTB, NTT dan Timor Timur (sebelum memisahkan diri) memperlihatkan bahwa PRA dikenal cukup luas di Indonesia. Bina Swadaya sebagai lembaga yang memiliki jaringan luas, juga menyebarluaskan metode PRA ini ke berbagai wilayah di Indonesia. Selain itu lembaga internasional dan funding juga menjadi promotor.

Bagaimana peta persebaran PRA di Indonesia? Meskipun belum pernah melakukan studi tentang itu, namun dari interaksi jaringan saya mendapat informasi yang menggambarkan bahwa persebaran PRA di Indonesia sebenarnya sangat luas dan dilakukan dalam isu dan cara beragam.

Sekedar hanya untuk mendokumentasikan informasi yang ada di kepala saya dari berbagai kegiatan terkait PRA yang pernah saya terlibat, saya membuat catatan dalam bentuk PPT berikut ini.

PARTICIPATORY RURAL APPRAISAL-pengalaman di indonesia (catatan 2012)

***

Sumber utama tentang persebaran dan praktek PRA di berbagai negara dapat kita peroleh dari publikasi yang disebut PRA/PLA Notes yang diterbitkan oleh IIED bekerjasama dengan IDS-UK, alamat: www.planotes.org

Tulisan pengalaman penerapan PRA di Indonesia yang pernah dimuat di PRA Notes adalah tentang penerapan PRA sebagai pra musyawarah pembangunan desa (musbandeng) di masa Orde Baru dan sekarang diganti istilahnya menjadi musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang).

Pada pelaksanaan musrenbang, PRA juga digunakan untuk tahap pengkajian di tingkat dusun.

***

Ciri persebaran PRA di Indonesia adalah penggunaannya sebagai metodologi pendekatan program pengembangan masyarakat (comdev). Hal ini menjadikan PRA menjadi ciri kalangan LSM comdev (developmentalis) sedangkan Participatory Action Research (PAR) menjadi ciri kalangan LSM advokasi. Dikotomi antara LSM comdev dan LSM advokasi ini pernah mengemuka cukup tajam di Indonesia.

Kalangan LSM comdev dianggap sebagai “tukang pembangunan” yang melakukan kerja-kerja yang menjadi tugas pemerintah. Sedangkan LSM advokasi dianggap “tukang teriak” (demo).

Pada era 1990-an ke belakang, tabu bagi kalangan LSM advokasi untuk bermitra dengan pemerintah. Pada masa itu sikap oposisi terhadap pemerintah masih keras.

***

Saya sendiri terlibat dalam pengembangan PRA sebagai tahap pra musbangdes (era Orde Baru) ketika dilibatkan dalam penyusunan modul P3MD yang merupakan kerjasama antara Ditjen PMD Depdagri dengan GTZ Jerman.

Ketika PRA menjadi tahap pra musrenbang (era Otonomi Daerah), saya terlibat di jaringan FPPM yang memberikan teknikal asisten dalam penyusunan SEB Musrenbang yang pertama tahun 2004 dan diterbitkan setiap tahun sampai terbitnya Permendagri 66/2007. Di jaringan ini saya terlibat dalam pengembangan panduan, modul pelatihan, dan penyelenggaraan pelatihan fasilitator musrenbang untuk berbagai daerah.

Jadi, bisa dikatakan bahwa PRA di Indonesia saat ini menyebar luas karena diterapkan sebagai metode perencanaan pemerintah yang tentunya berskala nasional.

***

Bagaimana perkembangan di kalangan LSM saat ini?

Tentunya PRA masih digunakan oleh LSM-LSM comdev yang sudah lama mengenal dan menerapkan PRA. LSM-LSM mitra jaringan yang dulu belajar bersama di Pokja PRA misalnya, masih tetap menggunakannya. Pelatihan-pelatihan PRA sudah dapat dilakukan oleh lembaganya. Bahkan lembaga yang dulu pernah mendapat pelatihan di Pokja PRA sudah dapat memberikan pelatihan PRA kepada pihak-pihak yang memerlukan.

Sekarang ini, partisipasi sudah menjadi keran yang terbuka. Itu sebabnya, dalam tulisan sebelumnya saya mengatakan generasi sekarang mungkin agak sulit menghayati suasana Orde Baru. Sebelum tahun 2000-an, apalagi pada tahun 1990-an ke belakang, kata “partisipasi” masih sesuatu yang “haram” di Indonesia. Berbahaya. Patut dicurigai.

Sekarang ini justru kita harus belajar tentang partisipasi dengan cara lain. Bukan belajar mengatakan apa pendapat kita, apa pikiran kita, atau meneriakkan hak kita. Tapi belajar mendengarkan pendapat orang lain, pikiran pihak lain (terutama pembuat keputusan), dan bersabar dengan proses-proses partisipatif karena itu melibatkan banyak pendapat dan pikiran pihak lain.  Ada hak-hak dan kewajiban orang lain bukan hanya kita sendiri.

Partisipasi yang “kebablasan” . Begitulah istilah berbagai pihak terhadap cara-cara partisipatif yang mengutamakan proses ketimbang hasil. Padahal keduanya sama penting.

Sekarang ini, mengemuka istilah partisipasi dalam terminologi demokrasi deliberatif. Partisipasi untuk membuat keputusan publik, seperti musrenbang, misalnya.

Partisipasi demikian memiliki batasan waktu karena sebuah keputusan harus ditetapkan dan dijalankan dalam waktu tertentu.

***

Dulu, barangkali PRA berkarakter instrumen program/proyek karena menyesuaikan diri dengan situasi di masa orde Baru. Namun sekarang sudah tak jaman lagi.

Nah, PRA sekarang harus masuk ke dalam wilayah partisipasi untuk proses pengambilan keputusan publik.  Tantangannya adalah bagaimana melakukan scale-up metode PRA ke dalam skala pemerintah daerah (kabupaten/kota) untuk berkontribusi terhadap pengembangan tata pemerintahan dengan sistem demokrasi deliberatif tersebut?

***

Sharing Learning PRA

Buku PRAEvaluasi PRA

Participatory Rural Appraisal – apa dan mengapa

Standar

Apa yang dimaksud dengan Participatory Rural Appraisal dan bagaimana perkembangannya dapat dilihat dari perubahan namanya.

  • RRA = Rapid Rural Appraisal, pertengahan tahun 1970.
  • PRA = Participatory Rural Appraisal,  akhir 1980an/awal 1990an.
  • PLA = Participatory Learning and Action, pertengahan tahun 1990an (tahun 1995).

Riset PembangunanRRA berkembang di kalangan universitas dengan tujuan untuk penelitian dan karakteristik penggalian data (ekstraktif). Ketika berkembang di kalangan praktisi pembangunan dengan tujuan dan filosofi berbeda, nama pun dibedakan menjadi PRA. Namun setelah terlanjur populer dengan nama PRA, barulah dirasakan adanya masalah dengan nama tersebut karena PRA tidak hanya diterapkan untuk perdesaan dan juga bukan hanya bermaksud sebagai metodologi pengkajian. Kemudian munculah nama PLA.

Participatory Rural Appraisal (PRA) atau Participatory Learning and Action (PLA) secara sederhana dapat diartikan sebagai sebuah metodologi pendekatan program pengembangan masyarakat. Metode ini menyediakan alat/teknik yang bisa digunakan  masyarakat dampingan untuk melakukan pengkajian keadaan dirinya, menganalisis dan kemudian merencanakan tindakan.  Juga untuk bisa melakukan penilaian terhadap pencapaian hasil atau tujuan kegiatan-kegiatannya.

Nama PLA dianggap lebih cocok untuk menggantikan PRA.

***

Apa perbedaan antara RRA untuk penelitian akademis dengan PRA/PLA untuk metodologi pendekatan program?

RRA

  • Ekstraktif (menggali data/informasi)
  • Informasi untuk OL
  • OD sebagai responden atau obyek
  • OL sebagai peneliti
  • Pengguna utama: Universitas, donor

PRA/PLA

  • Pemberdayaan dan transformasi sosial
  • Informasi untuk OD
  • OD = petani/masyarakat sebagai pelaku “penelitian” untuk menyusun tindakan
  • OL sebagai fasilitator/katalisator
  • Pengguna utama: Ornop/LSM

***

Apa sebabnya PRA berkembang terkait dengan sebuah proses panjang pemikiran dan kritik terhadap penelitian akademis yang dianggap hanya menjadikan masyarakat sebagai obyek dan tidak emmperoleh manfaat langsung. Participatory Action Research (PAR) merupakan salah satu perkembangan yang muncul untuk menjawab kritik ini.

PRA yang berkembang kemudian mengalahkan popularitas PAR. Sedangkan para pengguna PAR, menganggap PRA dan PAR memiliki perbedaan. Bahkan dalam sebuah pertemuan di Bandung pada tahun 2001 untuk mendiskusikan pengalaman para praktisi PRA dan PAR, muncul pernyataan dari penganut PAR bahwa PRA itu adalah PAR tanpa ideologi. PRA itu sangat instrumentalis dan tak beda dengan mobilisasi masyarakat untuk terlibat program.

Tentu saja pendapat itu ditolak para praktisi PRA.

***

Mengapa PRA menjadi populer di kalangan praktisi pembangunan dan kemudian popularitasnya mengalahkan PAR?

Generasi sekarang mungkin agak sulit menghayati suasana Orde Baru.

Pada tahun 1990-an ke belakang, kata “partisipasi” masih sesuatu yang “haram” di Indonesia. Berbahaya. Patut dicurigai.

Bisa jadi inilah yang menyebabkan PRA sebagai emtodologi pendekatan program menjadi lebih populer. Partisipasi yang digunakan PRA menjadi instrumentalis diyakini karena situasi di era Orde Baru yang masih represif terhadap suara yang kritis.

Sedangkan PAR menjadi kalah populer karena mempertahankan partisipasi yang lebih ideologis atau menggugat struktur penindasan.

***

Pada tahun 2003, saya sempat membuat catatan-catatan di saat menuliskan laporan evaluasi dampak pengintegrasian PRA sebagai metodologi program pengembangan masyarakat. Catatan-catatan ini dimaksudkan untuk memahami pada awalnya PRA dimaksudkan untuk apa dan mengapa.

Kalau PRA dikatakan berbeda dengan RRA dan PAR yang menjadi pendahulunya, maka perbedaan mendasarnya apa. Lalu bagaimana penerapannya sebagai metodologi pengembangan masyarakat (comdev) karena adopsi seperti inilah yang paling populer.

Catatan-catatan berikut ini silakan dibaca bila tertarik.

1-PRA apa dan mengapa (catatan 2003)

2-PRA pokok pemikiran Robert Chambers (catatan 2003)

3-PRA perbandingan dengan RRA & PAR (catatan 2003)

4-PRA kerangka kerja dalam comdev (catatan 2003)

5-PRA prinsip-prinsip dalam Comdev (catatan 2003)

***

Pasca reformasi (pasca tahun 2000-an), saya jarang melakukan dan menerima permintaan pelatihan PRA karena Pokja PRA di jaringan sudah selesai kegiatannya.  Mungkin pelatih dan fasilitator PRA sudah banyak sekarang sehingga permintaan pelatihan pun berkurang meskipun masih ada. Materi PRA merupakan bagian dari pelatihan fasilitator musrenbang desa, bukan pelatihan yang berdiri sendiri.

Teknik-teknik PRA memang masih dipakai secara luas di Indonesia karena digunakan dalam pra-musrenbang. Lihat tulisan sebelumnya: Participatory Rural Appraisal di Permendagri 66

Seperti yang saya sampaikan di tulisan-tulisan tentang program pengembangan masyarakat (comdev), dukungan lembaga donor kepada LSM sudah beralih ke program penguatan tata pemerintahan lokal. Ini –saya duga- menyebabkan menurunnya penyebaran PRA. Maksudnya, sampai sekarang memang PRA masih tetap diterapkan oleh lembaga program, namun tidak terdengar seramai tahun 1990 sampai 2000an.

***

Beberapa permintaan pelatihan PRA muncul lagi tahun 2012  ini. Ada yang dari kalangan peneliti.  Dan ada permintaan pelatihan PRA untuk program pengembangan masyarakat yang dikerjakan mahasiswa dan sebagai program CSR perusahaan.

Ketika ada permintaan untuk memberikan pelatihan PRA, saya membuat materi paparan ini.

PARTICIPATORY RURAL APPRAISAL-pengenalan (2012)

***

Pertemuan kelompok

Sumber: Kuilu/SDM

Buku yang Mendokumentasikan Pengalaman PRA di Indonesia

Standar

Participatory Rural Appraisal (PRA) adalah sebuah metodologi pendekatan program pengembangan masyarakat yang diadopsi oleh lembaga-lembaga di sebuah jaringan yang bekerja untuk wilayah perdesaan. Sederhananya, metode ini digunakan agar masyarakat dampingan (petani) dapat melakukan pengkajian keadaan dirinya, menganalisis dan kemudian merencanakan tindakan.

Pada tahun 1994, tugas saya adalah menjadi penyunting (editor) dan anggota tim penulis sebuah buku acuan PRA setelah diterapkan selama kurang lebih satu tahun di lapangan. Setelah versi ujicoba buku ini beredar dan penerapan PRA dilanjutkan dengan merujuk kepada buku, pada tahun 1996 buku ini dicetak dan diterbitkan. Naskah buku ini sendiri ditulis keroyokan selama tahun 1992 – 1993 melalui kegiatan lokakarya penulisan dan pembagian tugas tim penulis.

Di luar dugaan, buku ini harus dicetak ulang berkali-kali. Di lapangan juga ditemukan bahwa bisa jadi versi fotokopinya lebih banyak karena lembaga memberikan kepada setiap pendamping masyarakat atau Petugas Lapangan agar buku ini menjadi panduan. Buku ini tersebar luas karena metode PRA sedang sangat populer di masa itu.

***

Buku PRA BB-BSBuku “Berbuat Bersama Berperan Setara; Acuan Participatory Rural Appraisal” ini milik banyak pihak yang terlibat dalam penerapan di lapangan, menjadi tim penulis, pelaku ujcoba penerapan buku, dan kemudian juga memberikan masukan perubahan untuk buku ini. Pengembangan pengetahuan baru yaitu “PRA menurut pengalaman Indonesia” ini merupakan bagian dari program pembelajaran dan penguatan kapasitas melalui sebuah jaringan yang memiliki Pokja-pokja. Salah satunya adalah Pokja PRA. Pokja ini mengembangkan penerapan PRA sebagai metode pendekatan program pengembangan masyarakat, khususnya di kalangan LSM pertanian lahan kering.

Pada tahun 1997, ketika berkesempatan bertemu dengan Robert Chambers dari IDS-UK, yang dikenal sebagai orang yang mengembangkan dan mempopulerkan PRA, saya menyerahkan copy buku ini. Robert Chambers kurang lebih berkata: “Oh, my God, I wish I knew what is written ini this book…” Ya, tentu saja karena bukunya ditulis dalam Bahasa Indonesia.

Bagaimana cara PRA diterapkan oleh sebuah lembaga difasilitasi oleh Pokja PRA dengan memberikan dukungan pelatihan dan fasilitator dengan dana dari The Ford Foundation. Selain itu juga, Pokja PRA membantu penyebaran dan pengembangan fasilitator PRA baik bagi kebutuhan lembaga maupun pelatihan-pelatihan kolaboratif. Pelatih-pelatih ini membantu memperbanyak fasilitator-fasilitator PRA yang diharapkan juga bisa melatih teman-teman di lembaganya untuk menjadi fasilitator PRA. Inilah suatu masa ketika LSM masih bersemangat dengan jaringan pembelajaran.

***

Kelemahan-kelemahan dalam penerapan PRA seringkali dibahas dalam pertemuan tahunan jaringan, khususnya evaluasi tahunan Pokja PRA. Salah satu yang mengemuka adalah kritik terhadap penerapan PRA yang bersifat teknis. Kehilangan “roh” pemberdayaan dan proses yang lebih mendorong transformasi sosial. PRA menggunakan partisipasi sebagai alat mobilisasi atau partisipasi instrumentalis.

Untuk memahami kritik ini, tentu saja terlebih dahulu harus memahami apa dan mengapa PRA berkembang dibandingkan dengan bagaimana PRA diterapkan di lapangan. Buku PRA BB-BS ini dapat menggambarkan bagaimana PRA diterapkan di sebuah jaringan LSM di Indonesia. Sedangkan apa dan mengapa PRA dikembangkan dapat Anda kaji dari berbagai sumber bacaan, terutama PRA/PLA-Notes yang diterbitkan oleh IIED, alamat: www.planotes.org

Kritik ini kemudian coba dijawab dalam bentuk evaluasi dampak pengintegrasian metodologi PRA di jaringan ini, setelah sepuluh tahun diterapkan. Tentang evaluasi PRA, lihat pada tulisan lain.

***

Fasilitator Masyarakat menurut Jim Ife

Standar

Pada tulisan “Fasilitator Masyarakat; Runyamnya Sebuah Istilah”  diperkenalkan sejumlah istilah yang serupa tapi tak sama untuk pendamping masyarakat atau fasilitator masyarakat.

Buku “Community Development; Creating Community Alterbatives, Vision, Analysis and Practices” yang ditulis Jim Ife dan diterbitkan oleh Longman, Tahun 1995,  merumuskan 4 golongan dan 22 jenis tugas pendamping masyarakat.  Tugas pendamping masyarakat terdiri dari: Tugas fasilitasi proses, tugas pembelajaran, tugas penghubung, dan tugas teknis untuk mengelola tahapan program. Artinya, Pendamping Masyarakat merupakan istilah yang lebih luas daripada Fasilitator Masyarakat.

Berhubung istilah Fasilitator Masyarakat (Community Facilitator) lebih populer dan banyak diberlakukan di Indonesia saat ini, saya menggunakan konsep dan penjabaran peran/tugas pendamping masyarakat Jim Ife sebagai salah satu alternatif konsep dan peran/tugas Fasilitator Masyarakat. Artinya, seorang Fasilitator Masyarakat bukan hanya berperan untuk mengelola proses (program/kegiatan) saja, melainkan juga memperkuat kapasitas masyarakat dengan agenda pembelajaran, membangun jaringan dan kerjasama dengan berbagai lembaga, serta mengerjakan manajemen kegiatan lapangan. Pada kenyataannya seorang CF memang mengerjakan semua itu.

Karena itu, istilah Pendamping Masyarakat dan Fasilitator Masyarakat itu konsepsi dan prakteknya sama.

Saya membuat beberapa bahan serahan untuk materi pelatihan fasilitator masyarakat berikut ini:

(1) Konsep pendampingan masyarakat

(2) Berbagai sebutan fasilitator masyarakat

(3) Peran dan tugas fasilitator masyarakat

Konsep dan Prinsip Comdev

Standar

Saya pertama kali mengenal istilah pengembangan masyarakat (community development) itu sejak terjun ke dunia LSM pada awal tahun 1994.

Sekarang ini rasanya hanya bernostalgia saja karena jaringan LSM comdev yang pernah marak berkembang pada tahun 1980-an dan 1990-an ini sekarang sudah digantikan oleh hingar-bingar isu program penguatan tata pemerintahan terutama advokasi anggaran.

Kalau pada era program comdev, kerangka dan perspektif gender sedang hangat-hangatnya, maka pada era tata pemerintahan dan advokasi anggaran kerangka dan perspektif pro-poor dan pro publik menjadi hangat. Meskipun juga berkembang apa yang disebut anggaran pro gender.

***

Saya bukan praktisi comdev (atau sering disingkat CD) seperti teman baik saya Joseph Asa dan Vinsent Nurak dari YMTM-TTU yang bekerja bersama masyarakat di Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur untuk pengembangan pertanian lahan kering. Saya bekerja di Studio Driya Media, sebuah LSM yang yang bekerja untuk menyediakan dukungan pelatihan metodologi partisipatif dan media pembelajaran masyarakat untuk LSM-LSM pelaku comdev tersebut.

Sebagai orang yang pekerjaannya “merecoki” teman dengan berbagai topik pembelajaran untuk para fasilitator masyarakat di lembaganya, saya sering berperan sebagai pencari bahan rujukan. Salah satu yang saya kembangkan adalah sejumlah bahan bacaan berikut ini:

1-pengertian-pengembangan-masyarakat

2-kerangka-kerja-pengembangan-masyarakat

3-prinsip-pengembangan-masyarakat

4-pelaku-praktek-CD

Rujukan yang saya gunakan untuk menyusun materi diskusi tentang apa itu pengembangan masyarakat adalah buku Community Development ; Creating Community Alternatives, Vision, Analysis & Practice; Jim Ife, Longman, 1995. Dapat dikatakan saya membaca dan merangkum buku tersebut tapi dengan mencari-cari dan melengkapi dari bahan-bahan/sumber lainnya juga.

Susah juga pada saat itu internet belum seperti sekarang yang suasananya sudah memudahkan kita mengakses informasi dan pengetahuan lain. Antara tahun 1990-an sampai 2000-an itu, isu bahwa informasi dan pengetahuan masih secara sengaja dikuasai dan didominasi masih kental termasuk di kalangan LSM. Pernah jadi topik diskusi di milist (waktu itu milist masih ramai) sekarang sih sudah sepi dan digantikan media jejaring sosial.

Jadi, susah juga mencari bahan tulisan tentang comdev di internet. Hanya karena lembaga punya jaringan yang luas ya masih bisa menemukan sedikit-sedikit tulisan tipis tentang konsep comdev dari publikasi program LSM atau funding.

Sekarang juga masih susah kalau mencari literatur comdev dari penulis Indonesia, terutama buku-buku. Tapi sekarang sih kita bisa menemukan banyak web/blog yang menulis tentang pengembangan masyarakat baik dari kalangan akademisi maupun lembaga program di Indonesia. Juga lembaga internasional. Era berbagi informasi sekarang ini memungkinkan kita bisa memperoleh sumber informasi dan pengetahuan karena justru lembaga ingin menampilkan reputasi dan kredibilitasnya dengan menjadi sumber rujukan.

Syukurlah.

***

Salah satu kelakuan saya di masa akses informasi dan pengetahuan masih terbatas adalah membawa oleh-oleh buku untuk teman-teman jaringan yang ada di Nusa Tenggara. Syukur, lembaga funding setuju ada alokasi dana untuk itu. Buat teman-teman yang berani-beraninya meledek saya soal isu gender, segera saya balas dengan memberikan buku tentang gender yang ditulis alm. Mansour Fakih dan yang saya temukan di toko buku.

Begitulah.

Saya menyusun materi-materi konsep pengembangan masyarakat di atas untuk bahan diskusi dengan teman-teman LSM untuk dijabarkan menjadi kerangka kerja dan prinsip-prinsip berdasarkan apa yang dilakukannya di lapangan. Mudah-mudahan kemudian bahan ini bermanfaat untuk mendiskusikan dengan seluruh jajaran fasilitator masyarakat (petugas lapangan) dan kader-kader.

Banyak sekali PL dan kader yang hanya “mengenal ekor gajah tapi tidak tahu makhluk gajahnya seperti apa”.  Artinya, yang mereka tahu adalah pekerjaan mereka dalam pendampingan masyarakat itu adalah kerja teknis di kebun, tetapi bahwa pekerjaan tersebut bagian dari kerangka pemberdayaan yang disebut pengembangan masyarakat (gajahnya) lupa dibahas lembaga dengan mereka. Akibatnya ya para PL dan kader ini menjadi sangat teknis dan kurang melakukan proses-proses yang mendorong perubahan komunitas.

Saya upload lagi materi-materi di atas siapa tahu sekarang pun masih ada yang memerlukan. Pahala jadi bertambah, kan. Silakan unduh, gratis kok. Wong pekerjaan saya itu membacakan buku dan kemudian menceritakan ulang dengan cara yang rame supaya yang diajak ngobrol senang.

Oh, itu sebabnya sahabat saya Vinsent Nurak itu senang kalau saya datang. Bahkan kalau ada buku tebal yang harus dibaca karena sedang jadi topik trend di kalangan pembanguna tapi kelihatan menjemukan untuk dibaca, dia bilang kepada saya: “Baca dong. Terus ceritain sama saya….”

Hehehe, si bung mungkin tidak membaca blog ini. Mungkin sekarang sedang sibuk nyalon bupati sih. Cerita di atas kan sudah jadul sekali.

Makanya blog ini disebut “artefak belajar”.

***

Heeee, biar sudah jadul tapi buku rujukan saya di atas ternyata baru sekarang diterjemahkan dan dicetak eksklusif  lho. Saya ketemukan di toko buku Gramedia.

Jadi, masih relevan. Selama belum ada yang lain.

Program pengembangan masyarakat sekarang dikerjakan oleh LSM-LSM Internasional, funding, badan-badan PBB dan pemerintah pusat (PNPM itu!). Sedangkan LSM-LSM lokal sekarang direkrut oleh program-program tersebut. Tidak heran seorang teman berseloroh bahwa terjadi urbanisasi besar-besaran dari LSM ke PNPM. Wong fasilitatornya entah berjumlah puluhan atau ratusan ribu ya se-Indonesia, mulai dari fasilitator masyarakat sampai  fasilitator tingkat kabupaten/kota.

Terus juga ada guyon teman yang mengatakan bahwa LSM terbesar sekarang ya pemerintah pusat. Wong program comdev terbesar itu PNPM.

Tapi orang LSM juga tidak mau kalah. Banyak orang LSM yang jadi pejabat publik, baik itu jadi legislatif maupun nyalon di pilkada, atau masuk KPU dan Komisi-komisi lainnya. Makanya LSM yang bahasa inggrisnya Non Governmental Organization atau disingkat NGO sering dipelesetkan kepanjangannya menjadi Next Governmental Official.

Kok jadi ngobrol kemana-mana.

Silakan saja yang perlu bahan bacaan tentang apa pengembangan masyarakat untuk mengunduh lampiran di atas. Gratis.

Cari juga web-web yang bagus dari kalangan akademisi dari STKS Bandung yang banyak nulis tentang comdev. Salah satu trend topik yang berkembang adalah comdev sebagai program Corporate Social Responsibility dari perusahaan.

Kalau beli buku Jim Iffe  terjemahannya di Gramedia,  ya bayar.

***